Mungkin ada sebagian orang yang sudah mengenal apa itu difabel, yang
merupakan akronim dari different abilities people, atau orang dengan
kemampuan yang berbeda. Secara umum masyarakat mengenalnya sebagai para
penyandang cacat. Mungkin secara fungsional tidak ada yang membedakan
diantara penyebutan kedua istilah tersebut, tetapi patut diperhatikan
bahwa perbedaan bahasa dapat menimbulkan persepsi yang berbeda, baik itu
postif maupun negatif.
Menurut UU No. 4 Tahun 1997 yang dimaksud
dengan cacat adalah mereka yang memiliki kelainan fisik maupun mental
sehingga menghambat mereka untuk menjalankan aktivitas normal. Namun
jika ditelaah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cacat merujuk pada
kondisi benda mati yang rusak, tentu Tuhan tidak menciptakan makhluk-Nya
seburuk itu bukan?
Kembali dalam pemahaman bahasa. Tidak ada
konotasi manusia normal maupun tidak normal di hadapan-Nya, semua adalah
sama, tidak ada yang sempurna. Justru mereka yang dilahirkan berbeda
adalah orang-orang yang memang memiliki kemampuan berbeda untuk
menjalankan aktivitas yang berbeda juga. Mereka memiliki keahliannya
masing-masing yang mungkin bagi orang “normal” masih banyak yang belum
bisa mencapainya. Ada banyak contoh nyata dalam kehidupan kita,
sederhananya bisa dilihat pada Paralympics Games dimana para difabel
berkompetisi dalam olahraga selayaknya Olympic Games. Meskipun harus
berada dalam kursi roda, menggunakan kaki/tangan palsu, tidak mampu
melihat, bahkan berdiri saja membutuhkan usaha ekstra, tapi nyatanya
mereka masih memiliki semangat untuk mengejar prestasi. Bahkan ada
diantara mereka yang menjadi motivator terkenal. Sedangkan kita? Belum
bisa mensyukuri nikmat yang sudah diberikan oleh sang Maha Pencipta.
Lalu
bagaimanakah kondisi pendidikan Indonesia saat ini untuk para
penyandang disabilitas? Pendidikan inklusi yang dirancang oleh
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan khusus nyatanya masih jauh dari kata
harapan. Masih banyak sekolah di Indonesia yang belum bisa menyediakan
pendidikan inklusi sehingga harus menolak menerima siswa dari SLB.
Kesiapan pendidik yang belum memiliki pemahaman akan kebutuhan difabel,
aksesibilitas dan ketersediaan fasilitas yang kurang memadai, sistem
pembelajaran yang berbeda dengan SLB, biaya pendidikan yang mahal,
hingga budaya kultural 'mengucilkan' menjadi penghambat bagi kaum
disabilitas untuk berkarya.
Lantas, apakah dengan memberikan
sumbangan saja sudah cukup untuk memberikan perhatian kepada pendidikan
mereka? Saya katakan tidak. Menurut Salim Segaf (Mensos KIB II)
perlindungan yang dibutuhkan oleh teman-teman disabilitas adalah
kesetaraan hak, kesamaan dalam menjalani aktivitas normal. Berikan
kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Berikan sistem
pembelajaran yang adaptif terhadap kebutuhan mereka. Sampaikan materi
yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dan yang terpenting adalah upaya
penyiapan tenaga pendidik melalui pelatihan pemahaman penyelenggaraan
pendidikan inklusi, serta pembangunan infra struktur pembelajaran yang
aksesibel.
Tidak harus menunggu pihak pemerintah untuk bekerja.
Mungkin saat ini kita belum memiliki kuasa apapun untuk merubah regulasi
dan kebijakan. Tetapi kita bisa mulai dengan menggerakkan tangan kecil
kita sendiri. Dimulai dari diri sendiri, ubah cara pandang kita terhadap
teman2 disana, pahami kebutuhan mereka, berbagi pemahaman dengan teman
kita yang belum tahu, suarakan kebutuhan mereka, dan tidak lupa selalu
berbagi perhatian dan ilmu kepada mereka.
sumber:
http://www.kompasiana.com/erisoncs/jangan-lupakan-pendidikan-kaum-difabel_55546f156523bd6f144aef44





0 komentar:
Posting Komentar