Apa yang terjadi dengan bangsa ini?
Bangsa yang dibangun dengan semangat gotong royong sehingga berhasil
menyatukan 13.466 pulau dan 1.128 suku bangsa dalam sebuah Negara
Kesatuan Republik Indonesia akhirnya terdegradasi secara moral dengan
perilaku individualis yang bernama korupsi ini? Mungkinkah awal mula
tumbuhnya budaya korupsi ini ada akibat keberadaan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
telah memonopoli dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia
selama 197 tahun? Perilaku koruptif anggotanya mungkin secara langsung
telah memberikan contoh kepada bangsa Indonesia, di samping betapa
bejatnya kaum penjajah ini semena-mena atas lahan dan hasil pertanian
mereka, sebuah teknik dan seni memanipulasi keuangan untuk memperkaya
kantong pribadi. Terbukti atau tidaknya dugaan ini, saya belum bisa
memastikan. Namun ada satu hal yang pasti. Perilaku apapun sangat
mungkin untuk dicontoh dan dijadikan bagian dari kehidupan kita. Sebuah
contoh apalagi, akan sangat mungkin diadaptasi oleh seseorang yang masih
dalam tahap pencarian jati diri dan pendidikan yang rendah dan
terjajah. Entitas suatu objek yang dicontoh dan memberi pemahaman, dan
subjek yang menyerap pengetahuan mengantarkan saya pada suatu keberadaan
yang umum: guru dan murid. Pendidikan menunjukkan perannya dalam
mengantarkan sebuah bangsa menuju suatu budaya, baik buruk maupun mulia.
Keteladanan
adalah suatu hal yang mutlak, dan bangsa ini sedang kekurangan hal
tersebut. Petinggi SKK Migas, Menteri ESDM, Gubernur Riau, Ketua
Mahkamah Konstitusi dan bahkan seorang Menteri Agama dan banyak tokoh
masyarakat lain yang seharusnya menjadi seseorang yang kita hormati dan
posisinya kita dambakan justru menjadi tahanan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Sebuah keteladanan adalah kunci bagi kecerdasan dan
pembangunan mental pengikut dan masyarakat di bawahnya. Minimal, secara
tanpa disadari, kita tidak membangun stereotipe buruk atas semua kaum
elitis di atas kita dan menganggap bahwa jika kita mampu menduduki
posisi mereka nanti, kita akan memiliki kapabilitas untuk melakukan
perilaku korup tersebut. Pendidikan sangat bergantung pada keteladanan,
dan keteladanan paling awal datang orang tua dan juga dari sosok yang
telah kita kenal harus kita gugu dan tiru: guru. Saya percaya bahwa
pendidikan adalah kunci kesejahteraan bangsa. Pendidikan yang baik dari
usia sedini mungkin akan menyelamatkan peradaban bangsa ini, oleh karena
itu saya akan berfokus pada praktik pendidikan mulai dari tingkat
dasar. Dunia pendidikan sekarang tengah terancam dengan krisis
keberlanjutan dari Kurikulum 2013. Kurikulum yang secara konseptual
telah terancang dengan baik namun dalam pelaksanaannya minim dengan
kapabilitas dan operasional yang patut diteladani. Kurikulum 2013
menurut saya memiliki petunjuk dasar yang bagus, karena telah memberikan
arahan secara tersistem untuk memantau tidak hanya perkembagan kognitif
akademik dari siswanya, namun juga memberikan pemantauan dan
pembimbingan mental, moral dan relevansi sosial kepada anak didiknya.
Mata pelajaran yang telah terintegrasi dan dipelajari secara simultan
akan mampu menumbuhkan kritisme dan penalaran anak. Jika dilaksanakan
dengan baik, metode ini akan membuat anak melihat dunia dari sisi
keilmuan yang utuh dan dapat diterapkan pada kehidupan nyatanya dalam
membuat karya yang mapan dari berbagai macam sisi keilmuan tanpa
kesulitan untuk memadukan pemahamannya. Penilaian perilaku dan moral
juga penting untuk menyadarkan anak bahwa prestasi tidak hanya dilihat
dari nilai rapor akademis, tapi juga penilaian guru atas perilaku
baiknya selama di sekolah. Semua konsep ini baik. Coba kita lihat jangka
panjang. Jika kurikulum ini mampu berjalan dengan baik dan berlaku
penuh berfokus pada inisiatif siswa (student centered),
anak-anak didik akan mampu berfikir secara luas tidak hanya korelasi
antar mata pelajaran namun juga relevansi antara pemahamannya dengan
kenyataan lingkungan sekitarnya. Anak didik akan mampu memberikan
kontribusi kepada lingkungan dengan adab, moral dan etika yang baik.
Namun
lihatlah pelaksanaan Kurikulum 2013 sekarang. Guru masih sulit utuk
bertransisi dari guru yang pedagogik menjadi guru yang inspiratif dan
mampu memancing minat belajar aktif anak. Anak masih menunggu arahan dan
masukan ilmu dari gurunya karena guru tidak tahu bagaimana cara
memotivasi anak. Guru masih menyisakan paradigma bahwa mereka lah sumber
dari segala macam ilmu. Kesalahan dari sistem pendidikan guru adalah
guru diarahkan pada penguasaan materi. Hal ini miris karena
sesungguhnya, intisari pendidikan adalah bukan untuk mengajari anak
didik, namun menumbuhkan minat belajar pada anak didik. Buku yang campur
aduk dari berbagai macam mata pelajaran, modul yang sulit dimengerti
dan pelatihan yang minim, hal-hal itulah yang akhirnya menjadi fokus
kesulitan para guru. Seandainya para guru telah memberikan keteladanan
yang baik dan inspirasi, maka jiwa manapun akan tanpa sadar termotivasi.
Sampai saat ini, masih banyak guru yang menyerah untuk membuat metode
pengajaran yang menyenangkan dan membangkitkan semangat belajar siswa,
sehingga akhirnya sistem pengajaran yang telah berlangsung sejak zaman
baheula lestari kembali. Sistem pengajaran yang satu arah, meninggalkan
murid-murid pasif, tak tahu arah dan tidak bertanggung jawab atas
perjalanan belajarnya, mengesampingkan minat dan pencarian mimpinya.
Ini
dia alasan pertama mengapa sistem pendidikan yang ada saat ini memicu
perilaku korupsi: metode pendidikan yang diterapkan di sekolah
diproyeksikan menimbukan daya korup. Anak-anak tidak dibiarkan
bertanggung jawab dengan pilihannya. Sedari kita duduk di sekolah dasar,
anak-anak tidak merasakan esensi bertanggung jawab. Anak-anak hanya
menjalankan hidup dan materi yang telah disodorkan, tidak merasakan
adanya tanggung jawab yang datang atas hasil dari apa yang dilakukannya.
Mereka tidak merasakan nikmatnya dari berjuang untuk sesuatu yang
mereka pilih dan hasil yang akan mereka dapatkan dari perjuangan
tersebut. Anak-anak hanya tahu untuk belajar, bahkan hal-hal yang tidak
mereka senangi, hanya untuk mendapatkan nilai dan kebebasan dari hukuman
dari orang tuanya jika tidak mendapat nilai merah. Jikalau nanti mereka
masuk pada sebuah sistem yang lebih besar dimana mereka menempati
posisi profesional dan mandatoris, misalnya menjadi karyawan kantor,
mereka akan sulit untuk bertanggung jawab karena tidak dibiasakan untuk
berjuang. Daya juang yang rendah demi tujuan yang positif, demi tujuan
untuk memajukan organisasi atau perusahaan, akan menjerumuskan mereka
pada hal-hal yang praktis. Tidak usah jauh-jauh untuk membayangkan
sampai pada level dunia karir, mererka yang sejak SD hingga SMA tidak
merasakan perjuangan untuk pilihan mereka sendiri akan hilang pada saat
mereka masuk bangku kuliah. Mereka tak jarang akan salah jurusan dan
akan sulit sekali untuk berperan aktif berkontribusi berdasarkan
disiplin ilmunya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana teman-teman saya di
bangku kuliah saat ini banyak yang merasa salah jurusan, bahkan saya
sendiri adalah korban. Saya dan teman-teman saya yang salah jurusan akan
selalu tergoda untuk mencari jalan pintas agar dapat mengikuti ritme
perkuliahan. Mencontek tugas, mencontek pada saat ujian, membohongi
absensi dan banyak lagi perilaku yang sesungguhnya koruptif kami lakukan
agar bisa bertahan di jurusan kami. Saya bisa saja membuat pengecualian
(excuse) kepada diri saya, bahwa saya harus melakukan praktik kotor ini
demi mencapai kelulusan dan nantinya saya akan berkontribusi lebih
dahsyat dengan jalan yang saya inginkan, tetapi pengalaman, teknik dan
penerimaan mental atas perilaku ini telah saya dapatkan. Jika saya tidak
kuat menghadapi godaan seperti ini lagi pada saat berkarir nanti, saya
akan dengan lihai memanfaatkan pengalaman yang saya miliki untuk
melakukan perilaku korupsi, seperti memanipulasi keuangan kantor
misalnya. Yang paling merusak adalah, jiwa saya atau siapapun yang
senasib dengan saya, telah menerima perilaku korup ini menjadi bagian
kecil dari diri saya, dan itu bermula dari pendidikan dasar yang tidak
menanamkan tanggung jawab.
Alasan kedua: pelaksanaan evaluasi
pendidikan di sekolah itu sendiri memberikan contoh korup. Target yang
telah di-set oleh pemerintah daerah untuk akreditasi pendidikannya tidak
sejalan dengan kapabilitas dari guru dan murid. Saya akan berikan
contoh nyata yang lagi-lagi saya alami sendiri. Saya telah dua kali
terlibat dalam perilaku kecurangan ujian nasional, yaitu pada saat kelas
6 SD dan SMA. Seperti telah saya katakan, pengawas UN kelas 6 SD
sekolah saya mengkoordinir kerja sama dan membuka buku pelajaran agar
murid dapat menjawab soal ujian. Pada saat SMA, bahkan guru-guru dan
pihak sekolah lah yang telah mengkoordinir sumber jawaban UN dan
mengakomodasi iuran per bulan untuk membeli kunci jawaban itu kepada
seluruh siswa kelas SMA. Luar biasa menurut saya. Hasilnya juga luar
biasa: seluruh siswa SMA dari sekolah saya lulus kecuali satu – yang
setelah saya tanyakan mengapa ia gagal adalah karena ia salah
mengurutkan kunci jawaban. Saya adalah satu-satunya siswa yang tidak
memberika iuran untuk kunci itu dan menjalankan ujian secara jujur
meninggalkan saya acap kali harus tinggal di kelas paling lama untuk
menyelesaikan ujian. Kejujuran dan proyeksi nyata atas kemampuan
pendidikan sekolah telah dimanipulasi demi tingkat kualitas pendidikan
daerah. Dapat kita duga, mentalitas pihak sekolah, guru dan anak didik
sangat terpengaruh. Guru tetap mendapatkan gaji yang sama bahkan tanpa
ia mampu mengajar dengan baik karena kunci jawaban sudah disediakan, dan
siswa tetap lulus tanpa perlu susah payah belajar dengan hanya membayar
iuran per bulan untuk memberli kunci jawaban. Peristiwa ini terjadi di
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara tempat saya sekolah, dan saya
yakin ini tidak hanya berlaku di sekolah saya. Konspirasi nasional ini
telah menyelamatkan muka beberapa sekolah dan pemerintah daerah, namun
menghancurkan masa depan bangsa ini.
Alasan ketiga adalah:
praktik dari pengadaan pendidikan itu sendiri memberikan contoh korup.
Pengadaan buku yang belum merata dan tidak sampai-sampai ke seluruh
sekolah, perilaku pihak percetakan yang mencari kesempatan di tengah
kesempitan meraup untung dengan menerbitkan buku dan pelatihan guru yang
terkesan dipaksakan menimbulkan kesan acak-acakan dan dugaan-dugaan
yang negatif. Jika kita ingin menjalankan sistem pendidikan dengan baik,
maka bersihkan dan rapikan proses pengadaannya dari hulu sampai ke
hilir untuk menghilangkan preseden buruk. Kita tidak akan membiarkan
seorang guru berkata “Wong dari pengadaan bukunya saja buruk, gimana
kita mau mengajar dengan serius?”
Kita butuh untuk mengetahui
alasan mengapa seseorang melakukan korupsi karena dari situ kita dapat
melakukan metode pencegahan dan perbaikan. Untuk dapat menemukan alasan,
kita harus mengetahui latar belakang apa yang mendasarinya. Ada banyak
faktor yang bisa mempengaruhi perilaku koruptif seseorang dan itu akan
sangat sulit jika ditelisik satu per satu. Bisa jadi karena memang
wataknya yang serakah, budaya keluarganya yang konsumtif sehingga
kebutuhan untuk uang akan selalu menggebu-gebu dan mungkin dari sistem
yang ada berlaku memaksa seseorang untuk melakukan korupsi. Kita mungkin
bisa merumuskan solusi untuk memperbaiki sistem, meningkatkan hukuman
namun kita tidak akan pernah bisa memperbaiki dari sisi manusia tanpa
mengaksentuasi peran dari pendidikan mulai dari pendidikan dasar. Kita
semua bisa memastikan bahwa siapapun pejabat di pemerintahan baik daerah
maupun pusat, anggota DPR, DPRD dan MPR, petinggi BUMN, menteri dan
presiden pasti pernah mengenyam bangku pendidikan dasar. Kita namun
tidak bisa menyempitkan pribadi potensial korupsi hanya pada elite
pemerintahan atau perusahaan, namun setiap warga negara. Oleh karena
itu, satu-satunya cara mencegah perilaku korup yang memiliki cakupan
luas dan sistemik meskipun membutuhkan modal materi dan pemikiran serta
hasil yang bisa dibuktikan setelah berjalan jangka panjang adalah dengan
cara mereformasi pendidikan secara menyeluruh.
Urgensi
pendidikan untuk membentuk pribadi dengan kesadaran sosial dan moral
yang anti-korupsi telah saya jabarkan. Reformasi pendidikan harus
menjadi fokus kita mulai saat ini. Reformasi pendidikan dapat diterapkan
dengan memperbaiki pendidikan dari segi metode, pelaksanaan evaluasi
dan pengadaan. Kita harus membentuk metode pendidikan yang membebaskan
anak berkreasi sesuai dengan minat dan bakatnya. Peran guru harus
fleksibel untuk dapat menilai kualitas anak tidak hanya dari
standardisasi Kriteria Kelulusan Minimal (KKM) namun dari keterampilan
hidupnya (life skill). Biarkan anak-anak menyusun kurikulum
untuk hidupnya sendiri. Peran guru adalah sebagai pengamat dan pemberi
motivasi. Pendidikan guru jangan lagi ditekankan pada penguasaan materi
namun bagaimana cara menginspirasi. Kurikulum yang mirip dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang membiarkan guru
memberikan materi yang kontekstual dengan daerah tinggalnya harus
dikembangkan lagi hingga tahap memberikan peluang bagi anak untuk
menyusun materi belajarnya sendiri. Anak-anak tidak akan terus bersama
dalam satu kelas, namun berhak memilih kelas mana yang ingin ia ikuti,
mirip dengan dunia perkuliahan. Dengan cara itu, anak-anak akan terlatih
untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab sedari kecil. Mengubah
metode pembelajaran berarti juga merubah sistem evaluasi. Ujian Nasional
(UN) memang sepatutnya dihilangkan karena hanya akan menyuburkan
praktek kecurangan dan tidak mendidik anak untuk percaya pada keunikan
dirinya masing-masing karena dinilai berdasarkan soal yang standar
secara nasional. UN akan diganti dengan proyek akhir anak didik sesuai
dengan ketertarikan mereka. Proyek dapat berupa esai, proyek fisik yang
berkaitan dengan spirit memberi pada lingkungan. Pemerintah daerah juga
harus disadarkan bahwa angka kuantitas lulusan tidaklah penting, namun
yang penting adalah bagaimana cari kita mampu meningkatkan kualitas
mental dan jiwa anak didik nantinya. Menteri Pendidikan harus sadar
bahwa tidaklah penting untuk meninggalkan sebuah sistem baru sebagai
warisan dari kepemimpinannya. Implementasi yang rapi dan minim konflik
penolakan serta kenyamanan dari pengguna sistem adalah yang paling
krusial. Rencanakan secara matang dan kaji secara mendalam dan
menyeluruh apapun kebijakan pendidikan yang akan diaplikasikan.
Kurikulum 2013 mengambil anggaran sekitar Rp 2,49 triliun dari APBN
namun opsi pembatalan dan perombakan justru semakin mencuat. Inilah
bukti bahwa jikapemerintah kurang memperhatikan segala kemungkinan yang
ada dari sebuah kebijakan, justru akan berpotensi menuju pada
kesia-siaan dan yang paling kita kecam, perilaku korupsi apalagi dari
dana sebesar itu.
Pendidikan anti-korupsi adalah penanaman budaya
luhur yang berkesinambungan, maka mulai dari sistem pendidikan dasar
seharusnya mengadopsi sistem pendidikan tinggi dengan objektif untuk
menumbuhkan pribadi yang bersemangat dan bertanggung jawab. Kita
memberikan waktu agar budaya anti-korupsi melekat pada anak didik. Kita
dapat mentransformasikan Pendidikan Anti-Korupsi seperti di Universitas
Paramadina menjadi kurikulum sekolah yang terdifusi dalam kegiatan
belajar mengajar. Memperbaiki pendidikan, memperbaiki manusia,
memperbaiki bangsa.
sumber:
http://www.kompasiana.com/haidarrazan/reformasi-pendidikan-mendidik-manusia-anti-korupsi-memperbaiki-bangsa_555480f4b67e616b14ba548d
sumber:
http://www.kompasiana.com/haidarrazan/reformasi-pendidikan-mendidik-manusia-anti-korupsi-memperbaiki-bangsa_555480f4b67e616b14ba548d