Pendidikan adalah sebuah eskalator
sebuah bangsa menuju kelevel yang lebih tinggi lagi, jalan yang pasti
singkat namun penuh resiko. sukses tidaknya suatu program pendidikan
tidak dapat diukur secara mutlak hanya dengan angka-angka saja, ada yang
lebih daripada itu, atau bahkan pendidikan yang hanya dinilai dari
ketercapaian infrastruktur semata, bukanlah indikator keberhasilan
program pendidikan. Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat
kompleks banyak faktor yang mempengaruhinya, kalau boleh di analogikan
pendidikan bagaikan komposisi pupuk serta tanaman adalah peserta
didiknya, sekalipun komposisi pupuknya bagus belum tentu semua tanaman
dapat tumbuh dengan baik.
Bangsa Indonesia mempunyai manfaat
sebenarnya dari jumlah sekitar 237.641.326 jiwa, bayangkan saja oleh
kita semua 5% penduduk kita sebanding dengan 70% penduduk negara
Singapura. timbul pertanyaan,mengapa kita tertinggal dari Singapura,
karena ternyata kita hanya memiliki 143 ribu Sekolah Dasar, 29 ribu
Sekolah Menengah Pertama, dan hanya 16 ribu Sekolah Menengah Atas,
merupakan tanggung jawab kita semua tentang sedikitnya fasilitas
pendidikan dan ketidak merataan pembangunan, akan tetapi jangan jadi
acuan jumlah sekolah-sekolah yang ada jadi patokan suksesnya pendidikan
kita. Jangan sampai departemen pendidikan menjadi departemen PU yang
menilai kinerjanya dari bidang pembangunan bangunan. Sebenarnya
pendidikan tidak hanya datang dari fasilitas dan tenaga guru yang
lengkap, peran pendidikan adalah tanggung jawab bagi kita, karena jika
5% saja dari penduduk negeri ini berkualitas tidak menutup kemungkinan
indonesia menjadi macan asia.
Sekarang kurikulum baru telah di
kembangkan yang lebih merujuk pada karakter pendidikan bangsa,kurikulum
2013. Akan tetapi apakah hal ini akan menjawab problematika yang ada
tentang pendidikan, mari kita urutkan apa yang dimaksud. Pendidikan
karakter memang bagus akan tetapi dapat bias dalam evaluasinya, dalam
pendidikan karakter di indonesia perlu adanya kerjasama antara pihak
sekolah, pemerintah dan keluarga agar pendidikan karakter ini berhasil.
Ada
beberapa hal yang patut diwaspadai oleh kementerian pendidikan dan
kebudayaan kita tentang kurikulum yang berbasis pada pendidikan
karakter, sebuah study di Amerika Serikat telah menerbitkan sebuah
laporan pada bulan oktober 2010 yang berjudul Efficacy Of Schoolwide
Programs To Promote Social And Character Development And Reduce Problem
Behavior In Elementary School Children (Majalah fahma:2013) yang
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antar kompetisi
sosial dan perkembangan karakter siswa sekolah dasar. Dari Amerika kita
dapat belajar bahwa negara kapitalis ini tidak mengintegrasikan
kurikulum pendidikanya dengan agama,bagaimana dengan kita. jangan sampai
adanya dikotomi antara ilmu sains dan ilmu agama, keduanya ada dalam
satu wadah pengetahuan yang harus berimbang.
Kalau dibandingkan
dengan negara lain negara indonesia memulai semuanya lebih dulu, semua
pelajaran sains dicocoki mulai dari sekolah dasar, padahal pikiran saat
anak-anak belumlah dapat merespon apa yang diajarkan, masa-masa sekolah
jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) saja jika melanjutkan ke perguruan
tinggi pasti perlu adabtasi. Suatu pengetahuan, memang bila tidak
disadari serta dihayati maknanya, tentu sulit dijadikan patokan hidup
dan dapat bias.
Terlepas dari kurikulum yang ada,pendidikan
karakter di indonesia di pegang oleh guru, guru merupakan sumber utama
yang menentukan keberhasilan usaha pembinaan karakter siswa disekolah,
hal ini memang wajar karena semua usaha pembinaan itu berpangkal dari
aktivitas guru. Bahan pelajaran atau materi pembianaan pendidikan tidak
lebih dari sebuah benda mati. Tugas gurulah yang “menghidupkan” semua
bahan pelajaran itu agar terjadi komunikasi antara siswa dan guru,
mendorong aktivitas siswa agar mereka tidak merasa digurui dan dikekang.
sumber:
http://www.kompasiana.com/indra.hardiyana/ekskalator-bangsa-indonesia-pendidikan-karakter_55359dfd6ea834a109da42dd





0 komentar:
Posting Komentar