Pages

Labels

Minggu, 28 Juni 2015

Reformasi Pendidikan: Mendidik Manusia Anti Korupsi, Memperbaiki Bangsa

Apa yang terjadi dengan bangsa ini? Bangsa yang dibangun dengan semangat gotong royong sehingga berhasil menyatukan 13.466 pulau dan 1.128 suku bangsa dalam sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia akhirnya terdegradasi secara moral dengan perilaku individualis yang bernama korupsi ini? Mungkinkah awal mula tumbuhnya budaya korupsi ini ada akibat keberadaan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) telah memonopoli dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia selama 197 tahun? Perilaku koruptif anggotanya mungkin secara langsung telah memberikan contoh kepada bangsa Indonesia, di samping betapa bejatnya kaum penjajah ini semena-mena atas lahan dan hasil pertanian mereka, sebuah teknik dan seni memanipulasi keuangan untuk memperkaya kantong pribadi. Terbukti atau tidaknya dugaan ini, saya belum bisa memastikan. Namun ada satu hal yang pasti. Perilaku apapun sangat mungkin untuk dicontoh dan dijadikan bagian dari kehidupan kita. Sebuah contoh apalagi, akan sangat mungkin diadaptasi oleh seseorang yang masih dalam tahap pencarian jati diri dan pendidikan yang rendah dan terjajah. Entitas suatu objek yang dicontoh dan memberi pemahaman, dan subjek yang menyerap pengetahuan mengantarkan saya pada suatu keberadaan yang umum: guru dan murid. Pendidikan menunjukkan perannya dalam mengantarkan sebuah bangsa menuju suatu budaya, baik buruk maupun mulia.

Keteladanan adalah suatu hal yang mutlak, dan bangsa ini sedang kekurangan hal tersebut. Petinggi SKK Migas, Menteri ESDM, Gubernur Riau, Ketua Mahkamah Konstitusi dan bahkan seorang Menteri Agama dan banyak tokoh masyarakat lain yang seharusnya menjadi seseorang yang kita hormati dan posisinya kita dambakan justru menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebuah keteladanan adalah kunci bagi kecerdasan dan pembangunan mental pengikut dan masyarakat di bawahnya. Minimal, secara tanpa disadari, kita tidak membangun stereotipe buruk atas semua kaum elitis di atas kita dan menganggap bahwa jika kita mampu menduduki posisi mereka nanti, kita akan memiliki kapabilitas untuk melakukan perilaku korup tersebut. Pendidikan sangat bergantung pada keteladanan, dan keteladanan paling awal datang orang tua dan juga dari sosok yang telah kita kenal harus kita gugu dan tiru: guru. Saya percaya bahwa pendidikan adalah kunci kesejahteraan bangsa. Pendidikan yang baik dari usia sedini mungkin akan menyelamatkan peradaban bangsa ini, oleh karena itu saya akan berfokus pada praktik pendidikan mulai dari tingkat dasar. Dunia pendidikan sekarang tengah terancam dengan krisis keberlanjutan dari Kurikulum 2013. Kurikulum yang secara konseptual telah terancang dengan baik namun dalam pelaksanaannya minim dengan kapabilitas dan operasional yang patut diteladani. Kurikulum 2013 menurut saya memiliki petunjuk dasar yang bagus, karena telah memberikan arahan secara tersistem untuk memantau tidak hanya perkembagan kognitif akademik dari siswanya, namun juga memberikan pemantauan dan pembimbingan mental, moral dan relevansi sosial kepada anak didiknya. Mata pelajaran yang telah terintegrasi dan dipelajari secara simultan akan mampu menumbuhkan kritisme dan penalaran anak. Jika dilaksanakan dengan baik, metode ini akan membuat anak melihat dunia dari sisi keilmuan yang utuh dan dapat diterapkan pada kehidupan nyatanya dalam membuat karya yang mapan dari berbagai macam sisi keilmuan tanpa kesulitan untuk memadukan pemahamannya. Penilaian perilaku dan moral juga penting untuk menyadarkan anak bahwa prestasi tidak hanya dilihat dari nilai rapor akademis, tapi juga penilaian guru atas perilaku baiknya selama di sekolah. Semua konsep ini baik. Coba kita lihat jangka panjang. Jika kurikulum ini mampu berjalan dengan baik dan berlaku penuh berfokus pada inisiatif siswa (student centered), anak-anak didik akan mampu berfikir secara luas tidak hanya korelasi antar mata pelajaran namun juga relevansi antara pemahamannya dengan kenyataan lingkungan sekitarnya. Anak didik akan mampu memberikan kontribusi kepada lingkungan dengan adab, moral dan etika yang baik.

Namun lihatlah pelaksanaan Kurikulum 2013 sekarang. Guru masih sulit utuk bertransisi dari guru yang pedagogik menjadi guru yang inspiratif dan mampu memancing minat belajar aktif anak. Anak masih menunggu arahan dan masukan ilmu dari gurunya karena guru tidak tahu bagaimana cara memotivasi anak. Guru masih menyisakan paradigma bahwa mereka lah sumber dari segala macam ilmu. Kesalahan dari sistem pendidikan guru adalah guru diarahkan pada penguasaan materi. Hal ini miris karena sesungguhnya, intisari pendidikan adalah bukan untuk mengajari anak didik, namun menumbuhkan minat belajar pada anak didik. Buku yang campur aduk dari berbagai macam mata pelajaran, modul yang sulit dimengerti dan pelatihan yang minim, hal-hal itulah yang akhirnya menjadi fokus kesulitan para guru. Seandainya para guru telah memberikan keteladanan yang baik dan inspirasi, maka jiwa manapun akan tanpa sadar termotivasi. Sampai saat ini, masih banyak guru yang menyerah untuk membuat metode pengajaran yang menyenangkan dan membangkitkan semangat belajar siswa, sehingga akhirnya sistem pengajaran yang telah berlangsung sejak zaman baheula lestari kembali. Sistem pengajaran yang satu arah, meninggalkan murid-murid pasif, tak tahu arah dan tidak bertanggung jawab atas perjalanan belajarnya, mengesampingkan minat dan pencarian mimpinya.

Ini dia alasan pertama mengapa sistem pendidikan yang ada saat ini memicu perilaku korupsi: metode pendidikan yang diterapkan di sekolah diproyeksikan menimbukan daya korup. Anak-anak tidak dibiarkan bertanggung jawab dengan pilihannya. Sedari kita duduk di sekolah dasar, anak-anak tidak merasakan esensi bertanggung jawab. Anak-anak hanya menjalankan hidup dan materi yang telah disodorkan, tidak merasakan adanya tanggung jawab yang datang atas hasil dari apa yang dilakukannya. Mereka tidak merasakan nikmatnya dari berjuang untuk sesuatu yang mereka pilih dan hasil yang akan mereka dapatkan dari perjuangan tersebut. Anak-anak hanya tahu untuk belajar, bahkan hal-hal yang tidak mereka senangi, hanya untuk mendapatkan nilai dan kebebasan dari hukuman dari orang tuanya jika tidak mendapat nilai merah. Jikalau nanti mereka masuk pada sebuah sistem yang lebih besar dimana mereka menempati posisi profesional dan mandatoris, misalnya menjadi karyawan kantor, mereka akan sulit untuk bertanggung jawab karena tidak dibiasakan untuk berjuang. Daya juang yang rendah demi tujuan yang positif, demi tujuan untuk memajukan organisasi atau perusahaan, akan menjerumuskan mereka pada hal-hal yang praktis. Tidak usah jauh-jauh untuk membayangkan sampai pada level dunia karir, mererka yang sejak SD hingga SMA tidak merasakan perjuangan untuk pilihan mereka sendiri akan hilang pada saat mereka masuk bangku kuliah. Mereka tak jarang akan salah jurusan dan akan sulit sekali untuk berperan aktif berkontribusi berdasarkan disiplin ilmunya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana teman-teman saya di bangku kuliah saat ini banyak yang merasa salah jurusan, bahkan saya sendiri adalah korban. Saya dan teman-teman saya yang salah jurusan akan selalu tergoda untuk mencari jalan pintas agar dapat mengikuti ritme perkuliahan. Mencontek tugas, mencontek pada saat ujian, membohongi absensi dan banyak lagi perilaku yang sesungguhnya koruptif kami lakukan agar bisa bertahan di jurusan kami. Saya bisa saja membuat pengecualian (excuse) kepada diri saya, bahwa saya harus melakukan praktik kotor ini demi mencapai kelulusan dan nantinya saya akan berkontribusi lebih dahsyat dengan jalan yang saya inginkan, tetapi pengalaman, teknik dan penerimaan mental atas perilaku ini telah saya dapatkan. Jika saya tidak kuat menghadapi godaan seperti ini lagi pada saat berkarir nanti, saya akan dengan lihai memanfaatkan pengalaman yang saya miliki untuk melakukan perilaku korupsi, seperti memanipulasi keuangan kantor misalnya. Yang paling merusak adalah, jiwa saya atau siapapun yang senasib dengan saya, telah menerima perilaku korup ini menjadi bagian kecil dari diri saya, dan itu bermula dari pendidikan dasar yang tidak menanamkan tanggung jawab.

Alasan kedua: pelaksanaan evaluasi pendidikan di sekolah itu sendiri memberikan contoh korup. Target yang telah di-set oleh pemerintah daerah untuk akreditasi pendidikannya tidak sejalan dengan kapabilitas dari guru dan murid. Saya akan berikan contoh nyata yang lagi-lagi saya alami sendiri. Saya telah dua kali terlibat dalam perilaku kecurangan ujian nasional, yaitu pada saat kelas 6 SD dan SMA. Seperti telah saya katakan, pengawas UN kelas 6 SD sekolah saya mengkoordinir kerja sama dan membuka buku pelajaran agar murid dapat menjawab soal ujian. Pada saat SMA, bahkan guru-guru dan pihak sekolah lah yang telah mengkoordinir sumber jawaban UN dan mengakomodasi iuran per bulan untuk membeli kunci jawaban itu kepada seluruh siswa kelas SMA. Luar biasa menurut saya. Hasilnya juga luar biasa: seluruh siswa SMA dari sekolah saya lulus kecuali satu – yang setelah saya tanyakan mengapa ia gagal adalah karena ia salah mengurutkan kunci jawaban. Saya adalah satu-satunya siswa yang tidak memberika iuran untuk kunci itu dan menjalankan ujian secara jujur meninggalkan saya acap kali harus tinggal di kelas paling lama untuk menyelesaikan ujian. Kejujuran dan proyeksi nyata atas kemampuan pendidikan sekolah telah dimanipulasi demi tingkat kualitas pendidikan daerah. Dapat kita duga, mentalitas pihak sekolah, guru dan anak didik sangat terpengaruh. Guru tetap mendapatkan gaji yang sama bahkan tanpa ia mampu mengajar dengan baik karena kunci jawaban sudah disediakan, dan siswa tetap lulus tanpa perlu susah payah belajar dengan hanya membayar iuran per bulan untuk memberli kunci jawaban. Peristiwa ini terjadi di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara tempat saya sekolah, dan saya yakin ini tidak hanya berlaku di sekolah saya. Konspirasi nasional ini telah menyelamatkan muka beberapa sekolah dan pemerintah daerah, namun menghancurkan masa depan bangsa ini.

Alasan ketiga adalah: praktik dari pengadaan pendidikan itu sendiri memberikan contoh korup. Pengadaan buku yang belum merata dan tidak sampai-sampai ke seluruh sekolah, perilaku pihak percetakan yang mencari kesempatan di tengah kesempitan meraup untung dengan menerbitkan buku dan pelatihan guru yang terkesan dipaksakan menimbulkan kesan acak-acakan dan dugaan-dugaan yang negatif. Jika kita ingin menjalankan sistem pendidikan dengan baik, maka bersihkan dan rapikan proses pengadaannya dari hulu sampai ke hilir untuk menghilangkan preseden buruk. Kita tidak akan membiarkan seorang guru berkata “Wong dari pengadaan bukunya saja buruk, gimana kita mau mengajar dengan serius?”

Kita butuh untuk mengetahui alasan mengapa seseorang melakukan korupsi karena dari situ kita dapat melakukan metode pencegahan dan perbaikan. Untuk dapat menemukan alasan, kita harus mengetahui latar belakang apa yang mendasarinya. Ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi perilaku koruptif seseorang dan itu akan sangat sulit jika ditelisik satu per satu. Bisa jadi karena memang wataknya yang serakah, budaya keluarganya yang konsumtif sehingga kebutuhan untuk uang akan selalu menggebu-gebu dan mungkin dari sistem yang ada berlaku memaksa seseorang untuk melakukan korupsi. Kita mungkin bisa merumuskan solusi untuk memperbaiki sistem, meningkatkan hukuman namun kita tidak akan pernah bisa memperbaiki dari sisi manusia tanpa mengaksentuasi peran dari pendidikan mulai dari pendidikan dasar. Kita semua bisa memastikan bahwa siapapun pejabat di pemerintahan baik daerah maupun pusat, anggota DPR, DPRD dan MPR, petinggi BUMN, menteri dan presiden pasti pernah mengenyam bangku pendidikan dasar. Kita namun tidak bisa menyempitkan pribadi potensial korupsi hanya pada elite pemerintahan atau perusahaan, namun setiap warga negara. Oleh karena itu, satu-satunya cara mencegah perilaku korup yang memiliki cakupan luas dan sistemik meskipun membutuhkan modal materi dan pemikiran serta hasil yang bisa dibuktikan setelah berjalan jangka panjang adalah dengan cara mereformasi pendidikan secara menyeluruh.

Urgensi pendidikan untuk membentuk pribadi dengan kesadaran sosial dan moral yang anti-korupsi telah saya jabarkan. Reformasi pendidikan harus menjadi fokus kita mulai saat ini. Reformasi pendidikan dapat diterapkan dengan memperbaiki pendidikan dari segi metode, pelaksanaan evaluasi dan pengadaan. Kita harus membentuk metode pendidikan yang membebaskan anak berkreasi sesuai dengan minat dan bakatnya. Peran guru harus fleksibel untuk dapat menilai kualitas anak tidak hanya dari standardisasi Kriteria Kelulusan Minimal (KKM) namun dari keterampilan hidupnya (life skill). Biarkan anak-anak menyusun kurikulum untuk hidupnya sendiri. Peran guru adalah sebagai pengamat dan pemberi motivasi. Pendidikan guru jangan lagi ditekankan pada penguasaan materi namun bagaimana cara menginspirasi. Kurikulum yang mirip dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang membiarkan guru memberikan materi yang kontekstual dengan daerah tinggalnya harus dikembangkan lagi hingga tahap memberikan peluang bagi anak untuk menyusun materi belajarnya sendiri. Anak-anak tidak akan terus bersama dalam satu kelas, namun berhak memilih kelas mana yang ingin ia ikuti, mirip dengan dunia perkuliahan. Dengan cara itu, anak-anak akan terlatih untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab sedari kecil. Mengubah metode pembelajaran berarti juga merubah sistem evaluasi. Ujian Nasional (UN) memang sepatutnya dihilangkan karena hanya akan menyuburkan praktek kecurangan dan tidak mendidik anak untuk percaya pada keunikan dirinya masing-masing karena dinilai berdasarkan soal yang standar secara nasional. UN akan diganti dengan proyek akhir anak didik sesuai dengan ketertarikan mereka. Proyek dapat berupa esai, proyek fisik yang berkaitan dengan spirit memberi pada lingkungan. Pemerintah daerah juga harus disadarkan bahwa angka kuantitas lulusan tidaklah penting, namun yang penting adalah bagaimana cari kita mampu meningkatkan kualitas mental dan jiwa anak didik nantinya. Menteri Pendidikan harus sadar bahwa tidaklah penting untuk meninggalkan sebuah sistem baru sebagai warisan dari kepemimpinannya. Implementasi yang rapi dan minim konflik penolakan serta kenyamanan dari pengguna sistem adalah yang paling krusial. Rencanakan secara matang dan kaji secara mendalam dan menyeluruh apapun kebijakan pendidikan yang akan diaplikasikan. Kurikulum 2013 mengambil anggaran sekitar Rp 2,49 triliun dari APBN namun opsi pembatalan dan perombakan justru semakin mencuat. Inilah bukti bahwa jikapemerintah kurang memperhatikan segala kemungkinan yang ada dari sebuah kebijakan, justru akan berpotensi menuju pada kesia-siaan dan yang paling kita kecam, perilaku korupsi apalagi dari dana sebesar itu.

Pendidikan anti-korupsi adalah penanaman budaya luhur yang berkesinambungan, maka mulai dari sistem pendidikan dasar seharusnya mengadopsi sistem pendidikan tinggi dengan objektif untuk menumbuhkan pribadi yang bersemangat dan bertanggung jawab. Kita memberikan waktu agar budaya anti-korupsi melekat pada anak didik. Kita dapat mentransformasikan Pendidikan Anti-Korupsi seperti di Universitas Paramadina menjadi kurikulum sekolah yang terdifusi dalam kegiatan belajar mengajar. Memperbaiki pendidikan, memperbaiki manusia, memperbaiki bangsa.

sumber:
http://www.kompasiana.com/haidarrazan/reformasi-pendidikan-mendidik-manusia-anti-korupsi-memperbaiki-bangsa_555480f4b67e616b14ba548d

Jangan Lupakan Pendidikan Kaum Difabel

Mungkin ada sebagian orang yang sudah mengenal apa itu difabel, yang merupakan akronim dari different abilities people, atau orang dengan kemampuan yang berbeda. Secara umum masyarakat mengenalnya sebagai para penyandang cacat. Mungkin secara fungsional tidak ada yang membedakan diantara penyebutan kedua istilah tersebut, tetapi patut diperhatikan bahwa perbedaan bahasa dapat menimbulkan persepsi yang berbeda, baik itu postif maupun negatif.

Menurut UU No. 4 Tahun 1997 yang dimaksud dengan cacat adalah mereka yang memiliki kelainan fisik maupun mental sehingga menghambat mereka untuk menjalankan aktivitas normal. Namun jika ditelaah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cacat merujuk pada kondisi benda mati yang rusak, tentu Tuhan tidak menciptakan makhluk-Nya seburuk itu bukan?

Kembali dalam pemahaman bahasa. Tidak ada konotasi manusia normal maupun tidak normal di hadapan-Nya, semua adalah sama, tidak ada yang sempurna. Justru mereka yang dilahirkan berbeda adalah orang-orang yang memang memiliki kemampuan berbeda untuk menjalankan aktivitas yang berbeda juga. Mereka memiliki keahliannya masing-masing yang mungkin bagi orang “normal” masih banyak yang belum bisa mencapainya. Ada banyak contoh nyata dalam kehidupan kita, sederhananya bisa dilihat pada Paralympics Games dimana para difabel berkompetisi dalam olahraga selayaknya Olympic Games. Meskipun harus berada dalam kursi roda, menggunakan kaki/tangan palsu, tidak mampu melihat, bahkan berdiri saja membutuhkan usaha ekstra, tapi nyatanya mereka masih memiliki semangat untuk mengejar prestasi. Bahkan ada diantara mereka yang menjadi motivator terkenal. Sedangkan kita? Belum bisa mensyukuri nikmat yang sudah diberikan oleh sang Maha Pencipta.

Lalu bagaimanakah kondisi pendidikan Indonesia saat ini untuk para penyandang disabilitas? Pendidikan inklusi yang dirancang oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan khusus nyatanya masih jauh dari kata harapan. Masih banyak sekolah di Indonesia yang belum bisa menyediakan pendidikan inklusi sehingga harus menolak menerima siswa dari SLB. Kesiapan pendidik yang belum memiliki pemahaman akan kebutuhan difabel, aksesibilitas dan ketersediaan fasilitas yang kurang memadai, sistem pembelajaran yang berbeda dengan SLB, biaya pendidikan yang mahal, hingga budaya kultural 'mengucilkan' menjadi penghambat bagi kaum disabilitas untuk berkarya.

Lantas, apakah dengan memberikan sumbangan saja sudah cukup untuk memberikan perhatian kepada pendidikan mereka? Saya katakan tidak. Menurut Salim Segaf (Mensos KIB II) perlindungan yang dibutuhkan oleh teman-teman disabilitas adalah kesetaraan hak, kesamaan dalam menjalani aktivitas normal. Berikan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Berikan sistem pembelajaran yang adaptif terhadap kebutuhan mereka. Sampaikan materi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dan yang terpenting adalah upaya penyiapan tenaga pendidik melalui pelatihan pemahaman penyelenggaraan pendidikan inklusi, serta pembangunan infra struktur pembelajaran yang aksesibel.

Tidak harus menunggu pihak pemerintah untuk bekerja. Mungkin saat ini kita belum memiliki kuasa apapun untuk merubah regulasi dan kebijakan. Tetapi kita bisa mulai dengan menggerakkan tangan kecil kita sendiri. Dimulai dari diri sendiri, ubah cara pandang kita terhadap teman2 disana, pahami kebutuhan mereka, berbagi pemahaman dengan teman kita yang belum tahu, suarakan kebutuhan mereka, dan tidak lupa selalu berbagi perhatian dan ilmu kepada mereka.

sumber:
http://www.kompasiana.com/erisoncs/jangan-lupakan-pendidikan-kaum-difabel_55546f156523bd6f144aef44

Ekskalator Bangsa Indonesia,Pendidikan Karakter?

Pendidikan adalah sebuah eskalator sebuah bangsa menuju kelevel yang lebih tinggi lagi, jalan yang pasti singkat namun penuh resiko. sukses tidaknya suatu program pendidikan tidak dapat diukur secara mutlak hanya dengan angka-angka saja, ada yang lebih daripada itu, atau bahkan pendidikan yang hanya dinilai dari ketercapaian infrastruktur semata, bukanlah indikator keberhasilan program pendidikan. Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat kompleks banyak faktor yang mempengaruhinya, kalau boleh di analogikan pendidikan bagaikan komposisi pupuk serta tanaman adalah peserta didiknya, sekalipun komposisi pupuknya bagus belum tentu semua tanaman dapat tumbuh dengan baik. 

Bangsa Indonesia mempunyai manfaat sebenarnya dari jumlah sekitar 237.641.326 jiwa, bayangkan saja oleh kita semua 5% penduduk kita sebanding dengan 70% penduduk negara Singapura. timbul pertanyaan,mengapa kita tertinggal dari Singapura, karena ternyata kita hanya memiliki 143 ribu Sekolah Dasar, 29 ribu Sekolah Menengah Pertama, dan hanya 16 ribu Sekolah Menengah Atas, merupakan tanggung jawab kita semua tentang sedikitnya fasilitas pendidikan dan ketidak merataan pembangunan, akan tetapi jangan jadi acuan jumlah sekolah-sekolah yang ada jadi patokan suksesnya pendidikan kita. Jangan sampai departemen pendidikan menjadi departemen PU yang menilai kinerjanya dari bidang pembangunan bangunan. Sebenarnya pendidikan tidak hanya datang dari fasilitas dan tenaga guru yang lengkap, peran pendidikan adalah tanggung jawab bagi kita, karena jika 5% saja dari penduduk negeri ini berkualitas tidak menutup kemungkinan indonesia menjadi macan asia.

Sekarang kurikulum baru telah di kembangkan yang lebih merujuk pada karakter pendidikan bangsa,kurikulum 2013. Akan tetapi apakah hal ini akan menjawab problematika yang ada tentang pendidikan, mari kita urutkan apa yang dimaksud. Pendidikan karakter memang bagus akan tetapi dapat bias dalam evaluasinya, dalam pendidikan karakter di indonesia perlu adanya kerjasama antara pihak sekolah, pemerintah dan keluarga agar pendidikan karakter ini berhasil. 

Ada beberapa hal yang patut diwaspadai oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan kita tentang kurikulum yang berbasis pada pendidikan karakter, sebuah study di Amerika Serikat telah menerbitkan sebuah laporan pada bulan oktober 2010 yang berjudul Efficacy Of Schoolwide Programs To Promote Social And Character Development And Reduce Problem Behavior In Elementary School Children (Majalah fahma:2013) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antar kompetisi sosial dan perkembangan karakter siswa sekolah dasar. Dari Amerika kita dapat belajar bahwa negara kapitalis ini tidak mengintegrasikan kurikulum pendidikanya dengan agama,bagaimana dengan kita. jangan sampai adanya dikotomi antara ilmu sains dan ilmu agama, keduanya ada dalam satu wadah pengetahuan yang harus berimbang.

Kalau dibandingkan dengan negara lain negara indonesia memulai semuanya lebih dulu, semua pelajaran sains dicocoki mulai dari sekolah dasar, padahal pikiran saat anak-anak belumlah dapat merespon apa yang diajarkan, masa-masa sekolah jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) saja jika melanjutkan ke perguruan tinggi pasti perlu adabtasi. Suatu pengetahuan, memang bila tidak disadari serta dihayati maknanya, tentu sulit dijadikan patokan hidup dan dapat bias.

Terlepas dari kurikulum yang ada,pendidikan karakter di indonesia di pegang oleh guru, guru merupakan sumber utama yang menentukan keberhasilan usaha pembinaan karakter siswa disekolah, hal ini memang wajar karena semua usaha pembinaan itu berpangkal dari aktivitas guru. Bahan pelajaran atau materi pembianaan pendidikan tidak lebih dari sebuah benda mati. Tugas gurulah yang “menghidupkan” semua bahan pelajaran itu agar terjadi komunikasi antara siswa dan guru, mendorong aktivitas siswa agar mereka tidak merasa digurui dan dikekang.

sumber:
http://www.kompasiana.com/indra.hardiyana/ekskalator-bangsa-indonesia-pendidikan-karakter_55359dfd6ea834a109da42dd

Institusi Pendidikan (Bukan) Kontributor Koruptor


Beberapa dekade terakhir ini, terjadi pergeseran makna keberhasilan.  Keberhasilan ditentukan berdasarkan jumlah kekayaan seseorang.  Masyarakat memuja jumlah kekayaan  dan mengabaikan cara mengumpulkannya.  Iklan media massa menjadi katalisator pergeseran makna keberhasilan.  Tayangan iklan selalu menampilkan gaya hidup hedonisme.  Hedonisme adalah perilaku mengutamakan kesenangan duniawi.   Ribuan anak menonton tayangan iklan bernuansa hedonisme setiap hari.  Sejak dini,  hedonisme tertanam dalam pemikiran anak-anak.  Kelak mereka melakukan berbagai cara untuk melestarikan gaya hidup tersebut.

Dunia pendidikan turut menyuburkan gaya hidup hedonisme.  Dewasa ini, sekolah-sekolah negeri berfasilitas canggih memungut iuran relatif  besar kepada orang tua siswa.  Hanya siswa kalangan menengah ke atas yang mampu bersekolah di sana.  Antar siswa terjadi persaingan kepemilikan benda mewah. Para pengajar pun meramaikan persaingan ini.   Guru yang memiliki rmobil dan rumah mewah adalah hal biasa.

Sementara kalangan ekonomi lemah harus menempuh pendidikan dengan fasilitas terbatas.  Padahal, anak-anak dari kalangan tersebut ada pula yang memiliki potensi akademik mumpuni.  Potensi mereka tak akan berkembang tanpa fasilitas pendidikan yang baik.  Terlebih bila orang tua memaksa mereka berhenti sekolah karena  tak punya biaya.
BUDAYA KORUPSI

Korupsi merupakan salah satu upaya pemenuhan gaya hidup hedonisme.  Menurut Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001, korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara.  Ada sembilan tidakan korupsi berdasarkan undang-undang tersebut, yaitu : suap, illegal profit, transaksi rahasia, hadiah, hibah, penggelapan, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang serta fasilitas negara.  Kesembilan tindakan itu adalah hal lumrah bagi kalangan pejabat negara. 

Umumnya koruptor beralasan bahwa penyelewengan mereka demi keberhasilan pendidikan anak-anaknya.  Biaya pendidikan yang baik sangat mahal.  Padahal pendidikan yang baik merupakan wahana  mendapatkan pekerjaan yang baik pula.  Setelah menamatkan pendidikannya,  anak tersebut memasuki dunia kerja secara nepotisme.  Sang anak pun meneruskan kebiasaan ayahnya pada keturunannya.  Budaya korupsi berlangsung turun temurun hingga membiaskan nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa Indonesia.

TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL

Tujuan pendidikan nasional sebagaimana Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan  adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pun demikian, tujuan pendidikan nasional belum tercapai secara keseluruhan. Sekarang, televisi gencar menyiarkan berita penangkapan lapisan elit bangsa yang korupsi.  Hal ini adalah peringatan bagi institusi pendidikan.  Bila para pimpinan bangsa mengesampingkan keluhuran ahlak, bagaimana pula dengan generasi muda?  Ternyata pendidikan kita baru berhasil mengembangkan potensi kecerdasan.  Sementara pembentukan watak dan peradaban bangsa belum menjadi agenda utama sistem pendidikan.

Alangkah baiknya bila  tujuan pendidikan nasional tidak sekedar retorika.  Seluruh elemen masyarakat harus memiliki visi yang sama demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional.  Institusi pemerintah bidang pendidikan seyogyanya bertindak tegas pada pihak-pihak yang bertindak memangkas potensi siswa.  Orang tua perlu memberikan teladan moral yang baik pada anak-anaknya hingga ahlak mulia bukan hanya literasi.

Keberhasilan pendidikan tak akan pernah terwujud bila gaya hidup hedonisme masih memasyarakat.  Para pemimpin dan tokoh masyarakat hendaknya  memberi teladan perilaku hidup sederhana pada masyarakat.   Media massa perlu memberikan penerangan tentang pentingnya pola hidup sederhana sebagai penyeimbang tayangan bergaya hedonisme.

Pemberantasan korupsi membutuhkan tindakan serentak dan berkelanjutan. Penyelenggara negara hendaknya menutup kesempatan korupsi bagi pelaksana proyek-proyek pemerintah.  Hukuman maksimal bagi pelaku korupsi perlu ditegakkan untuk  memberi efek jera.  Sebagai upaya preventif terhadap korupsi, nilai kejujuran harus ditanamkan sejak  dini.    Hendaknya ada reward dan punishment bagi penegakan kejujuran tersebut. Pendidik lebih mengutamakan proses kegiatan belajar daripada hasilnya.

Pendidikan, hedonisme dan korupsi berkaitan erat.  Pendidikan yang baik akan menekan gaya hidup hedonisme dan korupsi.  Indeks korupsi yang rendah merupakan indikator kemajuan suatu negara.   Artinya, pendidikan yang baik  adalah kunci keberhasilan negara.    Wahai rekan-rekan guru, marilah kita didik murid-murid kita untuk menjauhi gaya hedonisme dan budaya korupsi.  Mari bersama mewujudkan kemajuan Indonesia.

sumber:
http://www.kompasiana.com/febryantika/institusi-pendidikan-bukan-kontributor-koruptor_555473c9b67e616714ba54a3

Eureka! Inilah Esensi Pendidikan Sesungguhnya



Pendidikan adalah masalah dan bidang yang sangat serius untuk diperhatikan, bukan guyonan, apalagi lucu-lucuan. Serius karena menyangkut masa depan bangsa. Serius karena mengenai masa depan anak cucu negeri ini. Serius karena pendidikan adalah sesuatu yang harus dipandang utuh sebagai satu kesatuan sistem yang tidak bisa berdiri sendiri. Begitu banyak aspek, parameter, dan sub-sistem lain yang ada di sekelilingnya, yang sadar atau tanpa sadar, akan berpengaruh nyata pada keberlangsungan kualitas pendidikan itu sendiri.

Keteladanan, inilah yang harus menjadi kata kunci dan esensi pendidikan. Keteladanan yang tidak dipandang secara picik. Keteladanan yang tidak dimaknai kerdil. Keteladanan yang tidak hanya dilihat dari sisi si pelaku, namun juga mengenai apa yang – sedang – dilakukan. Keteladanan yang bukan di awang-awang, namun sesuatu hal nyata nan logis, yang setiap orang dapat mengejawantahkannya. Keteladanan atas setiap yang ada di dalam dan juga di luar lingkaran ranah pendidikan.

Pendidikan harus sangat mempertimbangkan keteladanan atas guru dan para dosennya; keramahan, keuletan, kepintaran dan keistiqomahan adalah beberapa keteladanan individu yang akan menjadi cermin bagi para peserta didik. Pendidikan tidak dapat abai dengan keteladanan atas apa yang diucapkan dan dilakukan para praktisi pendidikannya; plagiat, mencontek, manipulasi data, adalah hal-hal yang pastinya akan diteladanin para muridnya. Pendidikan harus memperhatikan keteladanan atas lingkungan sekitar dan infrastruktur yang ada; kekumuhan, banjir, kemacetan, tawuran dan kesemrawutan, akan menjadi contoh yang melekat pada setiap peserta didik, sehingga harus segera diatasi. Pendidikan harus menjaga keteladanan atas sub-sistem penunjang; kebocoran soal ujian, praktik sogokan, dan pungutan liar, adalah keteladanan busuk yang harus – sesegera mungkin – disingkirkan. Pendidikan pun tidak bisa menutup mata akan keteladanan atas para pemimpin di negara ini; saling hujat, apalagi berbicara sampah dan kebun binatang tanpa makna, bukanlah keteladanan yang boleh ditampakan kepada para penuntut ilmu. Pendidikan pun tidak dapat menutup telinga akan keteladanan para orang tua peserta didik; memberi contoh negatif kepada anak-anaknya, akan terus dibawa sampai hari akhir mereka.

Begitu massive dan kompleks tantangan dan permasalahan yang ada di sekitar sistem pendidikan, mengharuskan bukan hanya kerja keras saja yang kita butuhkan, namun kerja cerdas berilmu pun harus menjadi pola berkehidupan kita semua. Ya kita semua. Karena, ketaladanan yang dimaksud di dalam pendidikan, adalah keteladanan benar, yang melekat pada sistem sebagai sebuah kesatuan utuh tanpa dapat dipisahkan. Keteladanan benar, yang – hakikatnya – melekat pada setiap aspek berkehidupan. Sehingga, besar atau kecil, setiap tingkah pola dan gerak-gerik kita, hakikatnya adalah keteladanan yang akan ditiru oleh para peserta didik, para penuntut ilmu sejati. Oleh karena itu; Indonesia, pahami ini, pahami bahwa keteladanan, inilah esensi pendidikan sesungguhnya. Eureka!... 

sumber:http://www.kompasiana.com/ditditnutama/eureka-inilah-esensi-pendidikan-sesungguhnya_5548be65af7e6113158b458a